MAKALAH ILMU SOSIAL DASAR : PELAPISAN SOSIAL DAN KESAMAAN DERAJAT
BAB I
PENDAHULUAN
Setiap
masyarakat yang telah atau sedang menjalani masa transisi akan menunjukkan pola
perkembangan yang dipengaruhi oleh gejala-gejala dan masalah-masalah khusus,
berkenaan dengan situasi geografis, ekonomis, dan politis. Salah satu
diantaranya adalah terjadinya pergolakan dan perubahan struktur masyarakat yang
menyangkut perubahan kedudukan golongan-golongan social yang mempunyai peranan
dan kekuasaan dalam menentukan arah dari gerak perubahan tersebut.
Oleh karena itu
perlu kejelasan tentang pelapisan social dan persamaan derajat, elite dan
massa, baik dalam kegiatan maupun sebagai cita-cita atau hubungan antara
keluarga. Agara diketahui dimana letak kewajaran fungsi dan “rekonstruksi”
masyarakat, atau generasi-generasi mendatang selamat, terhindar dari bencana
konflik dan antagonism.
1.2.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah makna dan terjadinya
pelapisan social?
2.
Apakah persamaan derajat?
3.
Apakah diskriminasi?
1.3.
Tujuan Penelitian
1.
Agar mengetahui arti dan asal mula
terjadinya pelapisan sosial
2.
Mengetahui tentang persamaan derajat
3.
Mengetahui tentang diskriminasi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Pelapisan Sosial
Sebab asasi mengapa ada pelapisan social dalam
masyarakat bukan saja karena ada perbedaan, tetapi karena kemampuan manusia
menilai perbedaan itu dengan menerapkan berbagai kriteria. Artinya menganggap
ada sesuatu yang dihargai, makan sesuatu itu menjadi bibit yang menumbuhkan
adanya system berlapis dalam masyarakat.
Proses terjadinya system lapisan-lapisan dalam
masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya, atau sengaja disusun untuk mengejar
suatu tujuan bersama. Sistem lapisan social yang sengaja disusun biasanya
mengacu kepada pembagiaan kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasi
formal.
Sifat dari system berlapis dalam masyarakat ada yang
tertutup dan ada yang terbuka. Yang bersifat tertutup tidak memungkinkan
pindahnya seseorang dalam suatu lapisan ke lapisan yang lain, baik gerak
pindahnya ke atas maupun ke bawah. Pada masyarakat yang system pelapisannya
bersifat terbuka, setiap anggota mempunayi kesempeatan buat berusaha dengan
kecakapannya sendiri untuk naik lapisan social atau kalau tidak beruntung dapat
jatuh ke lapisan dibawahnya.
2.2.
Kelas sebagai Dimensi Pelapisan Sosial
Karl Marx
beranggapan, bahwa masyarakat dan
kegiatan-kegiatannya pada dasarnya merupakan alat-alat yang
terorganisasi agar manusia dapat tetap hidup. Di sana kelas merupakan kenyataan
dalam masyarakat yang timbul dari system produksi, akibat ada anggota yang
memilki tanah dan alat-alat produksi, dan yang tidak mempunyai serta hanya
memilki tenaga untuk disumbangkan dalam proses produksi. Kriteria lainnya ialah
tingkat kebebasan pribadi sebagai pemisah antara kelas-kelas yang seharusnya,
tetapi hanya dengan memiliki kriteria pemilikan alat produksi menjadi termasuk
dalam kelas yang sama.
Kritik
terhadap teori Marx menyangkut beberapa hal. Dalam terminology sebenarnya ada
perbedaan antara model kelas yang murni, abstrak, dan kongkret. Model yang
murni ialah yang menguasai hak kuasa atas sarana produksi dan nilai lebih, dan
mereka yang menguasai langsung melalui pembelian tenaga kerja, serta yang tidak
langsung berkat pemilikan tanah maupun modal. Kelas yang kongkret ada kelas
peralihan yang terbentuk di dalam suatu tahap sejarah. Kemudian ada kelas semu
seperti petani bebas, di Zaman Pertengahan, yang memiliki kepentingan ekonomi
tetapi marjinal terhadap hubungan-hubungan kelas yang sentral. Dan banyak lagi
kelas menurut kualifikasi yang lain, dimana kelas social tidak lagi berdasarkan
pemilikan sarana-sarana produksi. Hubungan kekuasaan yang menyangkut bawahan
dan atasan menyediakan unsur-unsur bagi kelahiran kelas dan dalam masyarakat
industry modern, pemilik semua produksi tidak sepenting mereka yang
melaksanakan pengendalian atas sarana itu.
Istilah
kelas terkadang tidak selalu mempunyai arti yang sama. Ada kalanya yang
dimaksud dengan kelas ialah semua orang dan keluarga yang sadar akan
kedudukannya di dalam suatu lapisan, sedangkan keududukan mereka itu diketahui
serta diakui oleh masyarakat umum. Maka pengertian kelas paralel dengan
pengertian lapisan, tanpa membedakan apakah dasar lapisan itu uang, tanah,
tanah kekuasaan, atau dasar lainnya.
Pandangan
lain terhadap kelas-kelas ada yang menggunakan penilaian fungsional dan
historis. Terbentuknya kelas-kelas, menurut aliran fungsional, diperlukan untuk
menyesuaikan masyarakat dengan keperluan yang nyata dan gejalanya dimengerti
apabila diketahui riwayat terjadinya seperti dalam abad ke-19, yaitu sebagai
berikut :
a. Pada
awalnya manusia hidup berkelompok tanpa tatanan social tertentu. Setiap pribadi
merdeka dan sama sederajat. Sarana produksi belum tercipta, sehingga penduduk
tidak terbagi-bagi atas dasar pemilikan keahlian.
b. Usaha
tani berkembang, sumber daya terbatas sehingga menuntut hadirnya peralatan-peralatan khusus yang pada
gilirannya menciptakan kesempatan-kesempatan baru atas penguasaan alat yang
tidak setiap orang mampu memilikinya.
c. Perbudakan
berkembang berubah kea rah prinsip-prinsip kuli kontrak. Orang yang dulunya
budak pelan-pelan bergeser statusnya mengikuti pergeseran pemilikan lahan.
d. Prinsip
kuli kontrak memberi kesempatan bagi tumbuhnya benih-benih feodalisme, tata
penguasaan di tangan minoritas bangsawan. Buruh menjadi bergantung kepada lahan
usaha tempat ia mengandakan hidupnya.
e. Struktur
dasar bergeser kea rah prinsip borjuis. Lapisan ini bukan petani, bukan
aristocrat, melainkan kelas menengah. Dengan memiliki alat dan sarna-sarana
produksi, kelompok ini mampu menguasai industry dan mesin.
f. Kini kaum
borjuis memperoleh keuntungan yang besar. Maka muncul gejala baru, yaitu
lapisan ini menjadi embrio sebuah kapitalisme industry. Perkembangan
selanjutnya adalah memberi peluang terhadap terjadinya pertentangan kelas.
Dalam ilustrasi historis di atas
masyarakat terbagi ke dalam dua lapisan utama meliputi, struktur dasar yaitu
laoisan di bawah sebagai penyebab dan suprastruktur, yaitu lapisan di atas yang
kebanyakan berperan sebagai akibat yang ditentukan. Struktur dasar terdiri atas
kelompok mapan yang memainkan peranan utama, misalnya feodalisme( pada zaman feodalistik),
dan yang lainnya menjadi suprastruktur.
2.3.
Kelompok Kedudukan sebagai Dimensi
Pelapisan Sosial
Kedudukan
berbeda dengan kelas. Kedudukan (status group) adalah lapisan yang berdasarkan
atas kehormatan kemasyarakatan. Namun dalam hal pembagian kekuasaan dalam
masyarakat, di antara kelas ekonomis dan kelompok kedudukan banyak tali
temalinya. Kedudukan berdasarkan hasil pengamatan dari masyarakat yang
penilaiannya dapat positif atau negative.Teori pelapisan social menurut dimensi
kedudukan ini merupakan tanggapan Weber terhadap kelas dalam pelapisan social.
Menurut
Weber, status atau kedudukan merupakan hal yang menyangkut gaya hidup,
kehormatan, dan hak-hak istimewa. Kalau kelas berkaitan dengan produksi, makan
kedudukan berkaitan dengan konsumsi barang-barang. Masyarakat dapat berfungsi,
bergantung kepada adanya pola-pola kelakuan timbal balik antara
individu-individu atau kelompok-kelompok. Posisi yang saling berhadapan di
dalam pola-pola kelakuan timbal balik semacam itu secara teknik disebut “status”.
Setiap individu mempunyai banyak kedudukan karena setiap individu ikut serta
mengungkapkan sejumlah pola. Kedudukan berbeda dengan individu yang
mendudukinya, yaitu sekumpulan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang hanya dapat
diwujudkan dengan perantara. Masyarakat pada umumnya memperkembangkan dua macam
kedudukan, yaitu : Pertama disebut ascribe status yaitu kedudukan
seseorang tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan,
diperoleh karena kelahiran, misalnya bangsawan atau kasta. Kedua disebut achieved
status, yaitu kedudukan yang dicapai seseorang dengan usaha-usaha yang
disengaja sesuai dengan kemampuannya.
Kelas dan
kedudukan memiliki hubungan timbal-balik yang erat karena status berasal dari
kelas, dan dalam perkembangan keduanya cenderung bersatu walaupun dapat
dibedakan secara analitis. Contoh, partai terbentuk atas dasar kelas dan
status, sebagai prototipenya dapat diperhatikan kegiatan ekonomis dan politis
dari buruh tani atau kegiatan para pegawai pemerintah. Organisasi buruh tani
atau pegawai pemerintah berusaha meningkatkan efisiensi dan keefektifan
organisasinya, dilakukan bersamaan dengan kegiatan untuk memanipulasikan
lambing-lambang kedudukan atau status.
2.4.
Teori fungsional
Davis dan
Moore ( 1945 ) melihat, bahwa pelapisan social mempunyai fungsi karena pelaku
social dalam setiap masyarakat perlu disebar dalam kedudukan tertentu dalam
suatu pola masyarakat. Dalam kedudukan-kedudukan tersebut pelaku social
mempunyai tugas dan memperoleh ganjaran dengan cara-cara tertentu. Perbedaan
martabat disebabkan oleh dua factor, yaitu (1) perbedaan pentingnya fungus
kedudukan dan, (2) perbedaan kelangkaan orang yang dapat menempati kedudukan
sehubungan dengan tuntutan peranan dari kedudukan.Tiap-tiap struktur social
mempunyai tujuan tertentu dengan berbagai kedudukan-kedudukan, dimana tugas
dari berbagai kedudukan tersebut berbeda-beda kepentingannya.
Dengan
sendirinya kedudukan yang lebih penting secara fungsional dalam struktur
social, mempunyai tingkatan-tingkatan yang lebih tinggi. Kedudukan menuntut
semacam keahlian atau kemampuan yang diperoleh mungkin sebagai bakat atau
melalui pendidikan, yang kadang kadang sulit didapat. Agar kedudukan-kedudukan
yang fungsional penting dan langka tenaganya dapat terisi, maka perlu disediakan
imbalan-imbalan sebagai rangsangan dan motivasi untuk berusaha menempati
kedudukan seperti itu. Penempatan atau penentuan alokasi imbalan serta hubungan
dengan posisi-posisi, sesuai dengan tanggung jawab kolektif yang dibebankan
atau dipercayakan sehingga seluruh system berjalan secara fungsional dan
efektif.
2.5.
Elite, Masyarakat, dan Kesamaan Derajat
Kesamaan derajat sebagai cita-cita, dalam
kenyataannya menghadapi struktur masyarakat yang menyangkut perubahan kedudukan
golongan-golongan social, mempunyai peranan dan kekuasaan dalam menentukan arah
gerak perubahan seperti yang dirasakan sekarang. Pendapat umum telah bersimpati
kepada “demokrasi” di dalam berbagai bentuk dan manifestasinya, paling tidak
dari segi teori, terutama mengenai persamaan, derajat dan kesamaan nilai
kepribadian manusia. Di lain pihak, kita pun melihat kontradiksi dari prinsip
semacam itu pada zaman modern ini, sehingga timbul kecurigaan terhadap para
penentu kebijaksanaan yang dengan terang-terangan atau sembunyi menjalankan
siasat keji, yang secara keseluruhan didasarkan atas asas perbudakan,
kepentingan perseorangan dan keuntungan pribadi. Umum juga telah bersimpati
terhadap usaha meningkatkan penghargaan martabat manusia melalui institusi
social dan kesejahteraan ekonomi.
Akan tetapi kontradiksi pun timbul,
misalnya Negara tidak menjamin kondisi yang dibutuhka untuk perkembangan
individu dan keluarga sendiri, sesuai dengan tujuan semula institusi semaca
itu. Kesejahteraan ekonomi, produksi barang, sering hanya untuk tujuan kekayaan
saja.
Kenyataan ini memberikan dorongan
timbulnya gerakan-gerakan atau pandangan yang menawarkan tentang pentingnya
perlindungan hak-hak asasi manusia, dan terhadap kemerdekaan dasar
individu-individu dalam masyarakat barat, demikian pula timur, menawarkan pandangan
dengan sasaran yang sama, tetapi dengan pendekatan-pendekatan yang
masing-masing jauh berbeda. Di barat perhatian kepada individu-indivudu
tersebut timbul dari pandangan yang antroposentris, dimana manusia
merupakan ukuran terhadap segala sesuatu. Di timur ( dalam Islam ) pandangannya
bersifat teosentris, Tuhan adalah yang Mahatinggi, dan manusia hanya ada
untuk mengabdi kepada-Nya.
Beberapa nilai utama kebudayaan Barat
dengan pandangan antroposentris, yaitu demokrasi, institusi social, dan
kesejahteraan ekonomi, berpokok pangkal pada pengahrgaan mutlak terhadap
manusia. Demokrasi didasarkan pada filsafat tentang manusia sebagai sumber
nilai dan kepercayaan, bahwa rakyat jelata sanggup memutuskan dan memilih untuk
kepentingan umum. “Kenyataan akan nilai dan keagungan individu adalah dasar
paling dalam dan pusat dari demokrasi.” Deklarasi kemerdekaan Amerika ( 1776 )
menyatakan : … bahwa semua manusia diciptakan sama, dilengkapi Penciptan dengan
hak-hak yang tidak dapat digugat, antara lain hidup, kebebasan, dan usaha untuk
kebahagiaan, Demikian pula dalam Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi
Manusia PBB tahun 1948, bahwa nilai martabat yang ada dalam diri manusia dan
hak-hak yang sama dan tak tergugat dari seluruh anggota keluarga manusia adalah
dasar untuk kebebasan, keadilan, dan perdamaian di dunia… Jumlah institusi
social di berbagai Negara untuk kesejahteraan dan perkembangan warganya begitu
banyak, bantuan social, rumah sakit, pusat rekreasi, sekolah, perpustakaan
umum, dan lain-lain. Bidang ini banyak dilakukan pula oleh pihak swasta,
yayasan-yayasan yang diilhami motif keagamaan atau kemanusiaan, selain yang
dikelola oleh Negara. Kesejahteraan ekonomi sering menimbulkan kritik karena
tujuan kekayaan melalui proses materialistis. Yang ditekankan kultur Barat
adalah perspektif “antroposentris” mengenai nasib manusia, melalui otoritas
sekuler seperti Negara atau kekuatan yang sedang menguasai Negara.
Perspektif Timur ( dalam hal ini Islam )
bersifat “teosentris”, larangan dan perintah-perintah semuanya bersifat agama.
Yang ditekankan di dalam Al-Quran adalah menjamin transformasi dari kualitan
kesadaran manusia. Manusia disuruh untuk hidup dan bekerja di atas dunia ini
dengan kesadaran penuh bahwa ia harus menunjukkan kepatuhan kepada kehendak
Allah subhanahu wa ta’ala, sebagai akibat logis doktrin utama “ Tiada Tuhan
kecuali Allah, dan nabi Muhammad adalah Rasul Allah.” Mengakui hak-hak dari
manusia-manusia yang lain adalah sebuah kewajiban yang diberikan kepadanya oleh
hkum agama untuk mematuhi Allah subhanahu wa ta’ala, nabi, dan tokoh-tokoh yang
dipercayakan untuk mengatur urusan-urusan Negara.
Pandangan “antroposentris” dan
“teosentris” semuanya adalah cita-cita tentang kesamaan derajat atau persamaan
social, yang menawarkan diri untuk mengatasi ketimpangan social dalam tatanan
masyarakat.Betapapun gencarnya usaha dari gerakan persamaan social dari kedua
pandangan tersebut, pada umumnya sulit menghindari diri dari kenyataan. Teori
yang menyatakan bahwa pembagian kelas dalam masyarakat merupakan syarat mutlak
dalam organisasi social, sering digunakan oleh mereka yang hanya mencari
pembenaran ideologis untuk mempertahankann ketimpangan social. Menghadapi teori
fungsional berarti usha melenyapkan atau mengubah pembagian kelas akan sia-sia.
Kemudian teori yang menyatakan tak dapat dihindarkannya dominasi elite, dan
suatu revolusi akan berhasil menggantikan elite yang satu dengan elite yang
lainnya, hanya merupakan suatu pembenaran atas kekuasaan kaum elite. Teori
lain, bahwa bertahannya dominasi elite berlangsung kepada penggunaan manipulasi
dan kekerasan, berarti membenarkan penggunaan kekuasaan yang didasarkan atas
manipulasi dan kekerasan. Maka timbul pertanyaan, apakah pembenaran moral bagi
ketimpangan social dan penggunaan kekuasaan didukung oleh teori sosiologi. Dan
apakah benar bahwa semua masyarakat sepanjang sejarah diatur oleh kaum elite (
dengan asumsi rapuhnya hakikat kemanusiaan).
Untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan
diatas, perlu mengetahui sejarah tentang pelapisan-pelapisan dan elite
masyarakat di Indonesia dengan terlebih dahulu mengkaji pengertian elite itu
sendiri.
Yang mengulas secara lengkap tentang
elite dan masyarakatnya adalah T.B.Bottomore dalam bukunya yang berjudul Elites
and Society. Istilah “elite” digunakan untuk menyebut barang-barang
dagangan yang mempunyai keutamaan khusus. Istilah tersebut kemudian digunakan
juga untuk menyebut kelompok-kelompok social tinggi, seperti kesatuan-kesatuan
militer yang utama.
Dan
menurut pikiran Plato, suatu komunitas harus diperintah oleh individu yang
lebih unggul. Hal ini lebih jelas dalam doktrin kasta Brahma yang mengatur
masyarakat Hindu Kuno. Bentuk lain dari agama mempengaruhi teori-teori social
dalam menyatakan pengertian elite ini, yaitu dalam hubungannya dengan “ pilihan
Tuhan”.
Revolusi kemerdekaan membawa perubahan
dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, termasuk perubahan struktur social.
Akan tetapi, di daerah yang mempunyai latar belakang sejarah kerajaan agraris,
pola tradisionalisme lama sukar mencair. Kendatipun system dan struktur yang
berubah, sifat perilaku elite masih berkesinambungan dengan “ bungkus” yang
lain, dan kemyudian orang menyebutnya sebagai gejala tumbuhnya
neotradisionalisme. Kenyataan ini mungkin dapat membenarkan buah piker T. B.
Bottomore tentang “elite dan masyarakat”, seperti dikemukakan di atas.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
- Pelapisan social adalah perbedaan dalam
masyarakat yang masuk ke dalam susunan bertinkat atau seperti kasta.
- Faktor-faktor yang membentuk Pelapisan Sosial
(Stratifikasi Sosial) adalah Kekayaan, Kekuasaan atau Kewenangan, Kehormatan,
dan Ilmu Pengetahuan.
- Sifat stratifikasi social tertutup yaitu
membatasi perpindahan lapisan social seseorang. Sedangkan stratifikasi social
tertutup memungkinkan seseorang berpindah lapisan sesuai kemampuan yang
dimilikinya.
- Kesamaan derajat adalah kesamaan diri sendiri
kepada orang lain dan masyarakat, yang dinyatakan sebagai Hak Aasi Manusia.
- Elite adalah golongan teratas atau menempati
puncak struktur social yang terpenting dan mepunyai keunggulan dalam pencapaian
di bidang mereka.
- Massa adalah pengelompokan menyerupai keramaian
yang berasal dari segala tingkatan social dan berbagai lapisan masyarakat
3.2.
Saran
Demikianlah yang dapat
saya paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini.
Tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahan karena terbatasnya pengetahuan
dan rujukan yang saya miliki dalam menyusun makalah tersebut.
Daftar Pustaka
Soelaeman, M. Munandar. 2001. Ilmu
Sosial Dasar. Bandung : Refika Aditama
Comments
Post a Comment